Sumber daya genetik (SDG) menjadi isu utama dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang sekarang masuk Program Legislasi Nasional 2016. Rancangan UU ini diharapkan mampu menjadi pengganti UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan draft revisi UU nomor 5 tahun 1990 ini mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia.
Menurut Direktur Ekosistem Esensial Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Antung Deddy, dalam RUU juga disebutkan aturan yang jelas mengenai akses asing terhadap sumber daya genetik Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah sanksi bagi pelanggarnya. “Ketentuan dalam UU itu nantinya sejalan dengan Protokol Nagoya yang sudah kita ratifikasi,” katanya. Misalnya, keharusan peneliti asing untuk meminta izin sebelum melakukan penelitian dan keharusan untuk didampingi peneliti dalam negeri. Hal lainnya yang diatur adalah soal penelitian terhadap satwa langka dan dilindungi, yang belum diatur dalam UU sebelumnya.
Yang pasti, pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati tersebut harus memenuhi tiga pilar Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) yang dikuatkan dengan Protokol Nagoya. Ketiganya adalah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatkan komponen keanekaragaman hayati yang lestari (berkelanjutan), dan pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik.
Hanya saja, kata Harry Alexander, akademisi dari Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatullah, UU sebelumnya belum memasukkan pilar ketiga dari konvensi keanekaragaman hayati, yaitu pembagian keuntungan. “Isu pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik adalah tujuan konvensi yang banyak ditolak negara maju,” katanya. Dalam RUU ini, ia menyarankan untuk menambah pendekatan aspek pembagian keuntungan dari unsur Hak Kekayaan Intelektual (HKI) karena sumber daya genetik di Indonesia tak bisa dilepaskan dengan hak kekayaan intelektual masyarakat.
Isu pembagian keuntungan ini disoroti pula oleh peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor Mahmud Thohari. Sekarang sudah banyak peneliti asing yang memanfaatkan sumber daya genetik lokal yang berkualitas tinggi. Sementara dalam batang tubuh RUU justru masih kental tentang sumber daya genetik yang liar. Padahal sumber daya genetik lokal yang berkualitas tinggi secara perlahan sudah dikembangkan negara lain. Contohnya adalah embrio sapi Bali yang dibeli oleh Malaysia atau tanah garapan di Cilembu disewakan Jepang untuk penelitian ubi. “RUU harus mampu melindungi sumber daya genetik lokal yang berkembang di masyarakat,” katanya.
Dari segi hukum, pengawasan dan kelembagaan juga harus dipertajam. Masalah pencurian sumber daya genetik, menurut Profesor Riset Bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara, bisa diselesaikan jika ada kelembagaan yang kuat. Kerjasama antara Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai pemberi izin usaha asing; Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai pemberi izin peneliti asing; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai koordinasi kebijakan dan LIPI beserta jejaring perguruan tinggi nasional akan mampu menjaga sumber daya genetik Indonesia. “Semua yang akan mengambil keputusan harus mempertimbangkan keputusan ilmiah, sehingga bisa dipertanggungjawabkan,” kata Endang yang juga pengurus Yayasan Kehati ini.